Minggu, 20 Februari 2011

Kebangkitan dan Pertumbuhan Madrasah di Indonesia

A.    Pendahuluan
Dalam sejarah Islam madrasah telah menjadi fenomena yang menonjol sejak awal abad 11-12 M (abad 5 H), khususnya ketika Wazir Bani Saljuk Nizam al-Mulk mendirikan madrasah Nizhamiyah di Baghdad. Pada abad pertengahan, madrasah dipandang sebagai lembaga pendidikan Islam par excellence, menjadi trend hampir di semua wilayah kekuasaan Islam. Tentu saja, sejalan dengan perkembangan masa yang terus membawakan perubahan-perubahan, eksistensi madrasah di dunia Islam tidak terlepas dari penyesuaian-penyesuaian, dari yang semula bersifat eksklutif menjadi lembaga pendidikan yang lebih terbuka, baik dari sudut kelembagaan, metodologi, kurikulum, maupun pengelolaannya. Tetapi yang dimaksudkan madrasah dalam makalah ini bukanlah lembaga pendidikan tinggi.seperti yang diselenggarakan Madrasah Nizhamiyah.
Terlepas dari kenyataan historis di atas, eksistensi madrasah dalam tradisi pendidikan Islam di Indonesia tergolong fenomena modern yaitu dimulai sekitar awal abad 20. Madrasah di Indonesia bisa dianggap sebagai perkembangan lanjut atau pembaharuan dari lembaga pendidikan pesantren dan surau.
Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang kebangkitan dan petumbuhan madrasah di Indonesia. Mulai dari masa sebelum kemerdekaan RI (penjajahan Belanda dan Jepang) sampai masa sesudah kemerdekaan RI (Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi).

B.     Pengertian Madrasah
Kata madrasah berasal dari bahasa Arab yang artinya tempat belajar, kata madrasah dalam bahasa Indonesia adalah sekolah, lebih dikhusus lagi sekolah-sekolah agama Islam. [1]
Dengan keterangan tersebut dapat dipahami bahwa madrasah tersebut adalah penekanannya sebagai suatu lembaga yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman.
Departemen Agama RI merumuskan pengertian Madrasah sebagai berikut:
  1. Menurut peraturan Menteri Agama RI No. 7 tahun 1946 mengandung pengertian tempat pendidikan yang diatur sebagai sekolah dan membuat pendidikan serta ilmu pengetahuan agama Islam menjadi pokok pengajaran.
  2. Menurut keputusan bersama 3 Menteri tahun 1975, menjelaskan pengertian Madrasah adalah lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30% di samping pelajaran umum.
  3. Menurut undang-undang No. 2 tahun 1989, PP. 28 dan 29 tahun 1990 serta surat keputusan Menteri Pendidikan dan Pengajaran No. 0489/ u/ 1992 dan surat keputusan Menteri Agama No. 373 tahun 1993. Madrasah adalah sebagai bercirikan Islam.
Dari beberapa penjelasan di atas dapat dikemukakan beberapa ciri madrasah:
a.       Lembaga Pendidikan yang mempunyai tata cara yang sama dengan sekolah.
b.      Mata pelajaran agama Islam di madrasah dijadikan mata pelajaran pokok di samping diberikan mata pelajaran umum.
c.       Sekolah yang bercirikan khas agama Islam.
Ditinjau dari tingkatannya, madrasah dibagi kepada: [2]
a.       Tingkat Ibtidaiyah (Tingkat Dasar)
b.      Tingkat Tsanawiyah (Tingkat Menengah)
c.       Tingkat Aliyah (Tingkat Menengah Atas)

C.    Madrasah Pada Masa Sebelum Kemerdekaan RI
1.      Masa Penjajahan Belanda
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda Madrasah memulai proses pertumbuhannya atas dasar semangat pembaharuan dikalangan umat Islam.[3] Latar belakang kelahiran madrasah itu bertumpu pada dua faktor penting. Pertama, pendidikan Islam tradisional dianggap kurang sistematik dan kurang memberikan kemampuan pragmatis yang memadai. Dan kedua, laju perkembangan sekolah-sekolah ala Belanda di kalangan masyarakat cenderung meluas dan membawakan watak sekulerisme sehingga harus diimbangi dengan sistem pendidikan Islam yang memiliki model dan organisasi yang lebih teratur dan terencana.
            Pertumbuhan madrasah sekaligus menunjukkan adanya pola respon umat Islam yang lebih progresif, tidak semata-mata defensif, terhadap politik pendidikan Hindia Belanda. Dengan berbagai variasi, sesuai dengan basis pendukungnya, madrasah tumbuh di berbagai lokasi dalam jumlah yang dari waktu ke waktu semakin banyak. Kebijakan pemerintah Hindia Belanda sendiri terhadap pendidikan Islam pada dasarnya bersifat menekan karena kekhawatiran akan timbulnya militansi kaum muslimin terpelajar.
Bagi pemerintahan penjajah, pendidikan di Hindia Belanda tidak hanya bersifat pedagogis kultural tetapi juga psikologis politis.[4] Pandangan ini pada satu pihak menimbulkan kesadaran bahwa pendidikan dianggap begitu vital dalam upaya mempengaruhi kebudayaan masyarakat. Melalui pendidikan ala Belanda dapat diciptakan kelas masyarakat terdidik yang berbudaya Barat sehingga akan lebih akomodatif terhadap kepentingan penjajah. Tetapi dipihak lain, pandangan di atas juga mendorong pengawasan yang berlebihan terhadap perkembangan lembaga pendidikan Islam seperti madrasah.
Salah satu kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam mengawasi pendidikan Islam adalah penerbitan Ordonansi Guru. Kebijakan ini mewajibkan para guru-guru agama untuk memiliki surat izin dari pemerintah. Tidak semua orang, meskipun ahli ilmu agama dapat mengajar di lembaga-lembaga pendidikan. Latar belakang Ordonansi Guru ini sepenuhnya bersifat politis untuk menekan sedemikian rupa sehingga pendidikan agama tidak menjadi faktor pemicu perlawanan rakyat terhadap penjajah. Pengalaman penjajah yang direpotkan oleh perlawanan rakyat di Cilegon tahun 1888 merupakam pelajaran serius bagi pemerintah Hindia Belanda untuk menerbitkan Ordonansi Guru itu.[5]
Ordonansi Guru dinilai umat Islam sebagai kebijakan yang tidak sekedar membatasi perkembangan pendidikan Islam saja, tetapi sekaligus menghapus peran penting Islam di Indonesia. Dalam banyak kasus sering terjadi guru-guru agama dipersalahkan ketika menghadapi gerakan Kristenisasi dengan alasan ketertiban dan keamanan.
Dalam perkembangannya Ordonansi Guru itu sendiri mengalami perubahan dari keharusan guru agama mendapatkan surat ijin menjadi keharusan guru agama itu cukup melapor dan memberitahu saja.[6] Ordonansi Guru yang diperbaharui ini diberlakukan secara lebih luas di berbagai wilayah, baik diluar Jawa maupun luar Jawa. Namun demikian, sebagaimana pernah terjadi sebelumnya, Ordonasi Guru inipun sering disalahgunakan oleh pemerintah lokal untuk menghambat gerakan umat Islam. Peristiwa yang dialami oleh kalangan Muhammadiyah pada tahun 1926 di Sekayu Palembang membuktikan adanya maksud negatif di balik Ordonansi Guru tersebut. Pada waktu itu, Pengurus Pusat akan meresmikan Sekolah Muhammadiyah setempat tetapi tiba-tiba dilarang padahal sebelumnya sudah diberitahukan rencana kegiatan itu kepada Residen Palembang.
Selain Ordonansi Guru pemerintah Hindia Belanda juga memberlakukan Ordonansi Sekolah Liar. Ketentuan ini mengatur bahwa penyelenggaraan pendidikan harus terlebih dahulu mendapatkan ijin dari pemerintah. Laporan-laporan mengenai kurikulum dan keadaam sekolahpun harus diberikan secara berkala. Ketidaklengkapan laporan sering dijadikan alasan untuk menutup kegiatan pendidikan dikalangan masyarakat tertentu. Karena kebiasaan lembaga pendidikan Islam yang masih belum tertata, Ordonansi itu dengan sendirinya menjadi faktor penghambat. Reaksi negatif terhadap Ordonansi Sekolah Liar ini juga datang dari para penyelenggera pendidikan diluar gerakan Islam.
Reaksi umat Islam terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda itu dapat dikelompokkan dalam dua corak: (1) defensif dan (2) progresif. Corak defensif ditunjukkan dengan menghindari sejauh mungkin pengaruh politik Hindia Belanda itu terhadap sistem pendidikan Islam. Sikap ini terlihat dalam sistem pendidikan tradisional pesantren yang sepenuhnya ,mengambil jarak dengan pemerintah penjajah. Di samping mengambil lokasi di daerah-daerah terpencil, pesantren juga mengembangkan kurikilum tersendiri yang hampir seluruhnya berorientasi pada pembinaan mental keagamaan. Pesantren dalam hal ini memposisikan diri sebagai lembaga pendidikan yang menjadi benteng pertahanan umat atas penetrasi penjajah, khususnya dalam bidang pendidikan. Dengan posisi defensif ini, pesantren pada kenyataannya memang bebas dari campur tangan pemerintah Hindia Belanda, meskipun dengan resiko harus terasing dari perkembangan masyarakat modern.
Corak responsi umat Islam juga bersifat progresif, yang memandang bahwa tekanan pemerintah Hindia Belanda itu merupakan kebijaksanaan diskriminatif. Usaha umat Islam dalam bidang pendidikan dengan demikian adalah bagaimana mencapai kesetaraan dan kesejajaran, baik dari sudut kelembagaan maupun kurikulum. Ketergantungan pada tekanan penjajah justru akam melemahkan posisi umat Islam sendiri. Begitupun sebaliknya, membiarkan sikap defensif terus menerus, akan semakin memberi ruang yang lapang bagi gerakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan upaya mengembangkan lembega-lembaga pendidikan secara mandiri yang produknya sama dengan sekolah ala Belanda, tetapi tidak tercerabut dari akar keagamaannya. Wujud konkrit dari upaya ini adalah tumbuh dan berkembangnya sekolah Islam atau madrasah diberbagai wilayah, baik di Jawa maupun di luar Jawa.
            Terlepas dari kedua responsi diatas, umat Islam pada umumnya menolak segala bentuk ordonansi yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Umat Islam menyatakan keberatan terhadap ordonansi sehingga mereka membuat reaksi yang cukup keras. Di Minangkabau sebuah pertemuan khusus umat Islam dilaksanakan untuk membahas masalah ini dan berakhir dengan keputusan untuk menentangnya.
Di bawah pengawasan dan ordonansi yang ketat oleh pemerintah Hindia Belanda, madrasah mulai tumbuh. Terdapat beberapa madrasah yang memperoleh pengakuan pemerintah meskipun masih merupakan pengakuan yang setengah-setengah. Tetapi pada umumnya madrasah-madrasah itu berdiri semata-mata karena kreasi tokoh dan organisasi tertentu tanpa dukungan dan legitimasi dari pemerintah. Kebutuhan sebagian rakyat untuk mengenyam pendidikan akhirmya terpenuhi melalui madrasah, sementera pemerintah melakukan pembatasan-pembatasan dalam sekolah-sekolah yang didirikannya sebagai wujud dari kebijaksanaan diskriminatifnya.

2.      Masa Penjajahan Jepang
Kebijakan yang kurang menguntungkan terhadap pendidikan Islam masih berlanjut pada masa penjajahan Jepang, meskipun terdapat beberaaa modifikasi. Walaupun diakui lebih memberikan kebebasan dari penjajahan Belanda, tetapi kebijakan dasar pemeintaahan penjajah Jepang berorientasi pada penguatan kekuasaannya di Indonesia. Pemerintahan Jepang memegang kendali yang sangat ketatdalam program-program pendidikan di Indonesia, walaupun dalam kenyataannya menghadapi kendala kurangnya tenaga pengajar yang memenuhi kriteria. Untuk memutus hubungan dengan pemerintahan Belanda, Jepang menghapuskan sekolah-sekolah berbahasa Belanda. Bahasa Indonesia bahkan digunakan secara luas di lingkungan pendidikan. Kurikulum dan pendidikan pun dirubah.
Untuk memperoleh dukungan dari umat Islam, pemerintahan Jepang mengeluarkan kebijakan yang mengeluarkan bantuan dana bagi sekolah dan madrasah. Berbeda dengan pemerintahan Belanda, Jepang membiarkan dibukanya kembali madrasah-madrasah yang pernah ditutup pada masa pemerintahan sebelumnya. Hal ini dilakukan karena kenyataan bahwa pengawasan pemerintahan Jepang sendiri tidak mampu menjangkau pesantren dan madrasahyang sebagian besar berlokasi di daerah-daerah terpencil. Namun demikian pemerintahan Jepang tetap mewaspadai bahwa madrasah-madrasah itu memiliki potensi perlawanan yang membahayakan bagi pendudukan Jepang di Indonesia.
Untuk mengamankan kepentingannya, pemerintahan Jepang lebih banyak mengangkat kalangan priyayi dalam jabatan-jabatan di Kantor Urusan Agama pejabat-pejabat seperti itu tentu saja lebih dapat  bekerjasama dengan pemerintahan Jepang karena mereka tidak memiliki perhatian yang serius terhadap pentingnya gerakan pendidikan Islam di Indonesia. Kantor ini bertugas antara lain mengorganisasikan pertemuan dan pembinaan guru-guru agama. Meskipun dengan alas an pembinaan kecakapan, tetapi usaha itu pada dasarnya bertujuan agar pelaksanaan pendidikan Islam baik di madrasah maupun pesantren tetap dalam kontrol pemerintah.
Respon umat Islam terhadap kebijakan pemerintahan Jepang nampaknya lebih progresif. Menghadapi politik pendidikan Jepang, kalangan ulama di Minangkabau  bersepakat mendirikan Majelis Islam Tinggi Minangkabau. Dipimpin oleh M.Jamil Jambek dan Mahmud Yunus, Majelis ini berusaha mengkoordinasikan pendidikan agama, baik di madrasah maupun di sekolah. Dalam hal kurikulum, majelis ini membuat rancangan yang menjamin standart mutu pendidkan agama. Pemerintahn Jepang memberikan pertimbangan yang cukup serius terhadap setiap rancangan dan usulan dari Majelis Islam Tinggi, khususnya dalam bidang pendidikan.[7]
Pada masa penjajahan Jepang, pengembangan Madrasah Awaliyah digalakkan secara luas. Majelis Islam Tinggi menjadi penggagas dan sekaligus penggerak utama untuk berdirinya madrasah – madrasah awaliyahyang diperuntukkan bagi anak-anak berusia minimal 7 tahun. Program pendidikan pada madrasah-madrasah awaliyah itu lebih ditekankan pada pembinaan keagamaan dan diselenggarakan pada sore hari. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan anak-anak yang pada umumnya mengikuti sekolah-sekolah rakyat pada pagi hari. Perkembangan madrasah-madrsah itu turut mewarnai pola pengorganisasian pendidikan agama yang lebih sistematis.

D.    Madrasah Pada Masa Sesudah Kemerdekaan RI
Bangsa Indonesia merdeka setelah proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaan ialah terbebasnya suatu bangsa dari belenggu penjajahan. Bangsa yang sudah merdeka dapat leluasa mengatur laju bangsa dan pemerintahan untuk mencapai tujuannya.
Kemerdekaan tidak sepenuhnya menyelesaikan berbagai persoalan negara. Kemerdekaan politik sesudah masa penjajahan oleh pemerintah Jepang dan Belanda itu lebih mudah dicapai dibandingkan dengan rekonstruksi kultural masyarakat dan renovasi Mengamati perjalanan sejarah pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda dan Jepang sungguh menarik dan memiliki proses yang amat panjang. Belanda yang menduduki Indonesia selama 3 ½ abad dan Jepang selama 3 1/ 2 tahun meninggalkan kesengsaraan, mental dan kondisi psikologis yang lemah. Dengan misi gold, glory dan gospel mereka mempengaruhi pemikiran dan iedeologi dengan doktrin-doktrin Barat. Akan tetapi kita sepatutnya bangga dengan perjuangan para tokoh Muslim pada masa itu yang berupaya sekuat tenaga untuk mengajarkan Islam dengan cara mendirikan lembaga pendidikan Islam seperti madrasah. Setelah itu masuklah babak baru yaitu masa orde lama dan orde baru serta masa reformasi.
1.      Masa Orde Lama
Pada era Orde Lama, pengaturan dua sistem pendidikan diupayakan untuk dihapus. Paling tidak ada tiga usaha yang dilakukan. Pertama, memasukkan pendidikan Islam ke dalam kurikulum pendidikan umum di sekolah negeri maupun swasta melalui pelajaran agama. Kedua, memasukkan ilmu pengetahuan umum ke dalam kurikulum pendidikan di madrasah. Ketiga, mendirikan sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) untuk memproduksi guru agama bagi sekolah umum maupun madrasah.
Tidak heran kalau perkembangan madrasah berlangsung sangat cepat. Pada pertengahan tahun 1960-an, terdapat 13.057 Madrasah Ibtidaiyah (MI), pendidikan setingkat sekolah dasar (SD) pada sistem pendidikan umum. Paling tidak terdapat 1.927.777 siswa yang mendaftarkan diri di MI.
Pada pendidikan tingkat lanjutan pertama atau Madrasah Tsanawiyah (MTs) terdapat 776 madrasah dengan 87.932 siswa. Sedangkan di tingkat berikutnya atau Madrasah Aliyah (MA) terdapat 16 madrasah dengan 1.881 siswa. Jumlah peserta pendidikan ini merupakan angka yang luar biasa bagi sejarah pendidikan di Indonesia.
Di tahun 1966, pemerintah mengizinkan madrasah swasta berubah statusnya menjadi madrasah negeri. Alhasil, ada 123 MI, 182 MTs, dan 42 MA yang menjadi madrasah negeri. Konsekuensi, manajemen madrasah secara total bergeser dari masyarakat ke pemerintah. Meskipun demikian, sekitar 90 persen madrasah masih dikelola masyarakat setempat dengan bentuk yayasan.

2.      Masa Orde Baru
Pada awal pemerintahan Orde Baru, pendekatan legal formal yang dijalankannya tidak memberikan dukungan pada madrasah. Tahun 1972 Presiden Suharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34 Tahun 1972 dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 15 Tahun 1974 yang mengatur madrasah di bawah pengelolaan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud)-sebelumnya, dikelola Menteri Agama.
Reaksi yang muncul di kalangan muslim sangat keras. Kebijakan itu dinilai sebagai usaha sekulerisme dan menghilangkan madrasah dari sistem pendidikan di Indonesia. Untuk menenangkan reaksi tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan keputusan bersama antara Mendikbud, Menteri Agama (Menag), dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Isinya, mengembalikan status pengelolaan madrasah di bawah Menteri Agama, tetapi harus memasukkan kurikulum umum yang sudah ditentukan pemerintah.
Kalau kita perhatikan, kurikulum yang diterapkan ini bersifat sentralistik. Akibatnya, segenap variabilitas yang lahir dari budaya lokal diabaikan. Otoritas pendidikan juga meng-abaikan berbagai persepsi serta preferensi yang hidup di luar dirinya. Tidak heran kalau peran masyarakat sebagai bagian dari komunitas pendidikan makin lama semakin menghilang.
Secara legal, madrasah sudah terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional sejak diberlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Perkembangan madrasah kemudian berlangsung cepat. Di tingkat MI, siswanya mencapai 11 persen dari total siswa tingkat dasar. Di tahun 1999, terdapat 21.454 MI dan sekitar 93,2 persennya diselenggarakan oleh pihak swasta. Di MTs pendaftarnya mencapai 18,35 persen dari total siswa tingkat lanjutan pertama. Tahun 1999 terdapat 9.860 madrasah dan sekitar 88,1 persennya merupakan madrasah milik swasta.
Jadi, pada tingkat pendidikan dasar sistem pendidikan madrasah didominasi oleh swasta. Padahal, jumlah SD swasta yang dikelola Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) hanya enam persen. Sementara di tingkat lanjutan pertama, sekolah swasta hanya 46 persen. Angka ini menjadi bukti bahwa peran masyarakat di madrasah sebenarnya masih sangat besar. Namun, masyarakat tidak memiliki kebebasan untuk mengelola dengan caranya sendiri, karena hampir semua hal yang berkaitan dengan pendidikan sudah ditentukan oleh pemegang otoritas pendidikan.
Harus diakui bahwa jika pemerintah ingin menyukseskan wajib belajar sembilan tahun, maka peran madrasah swasta tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Saat ini, 15 persen lembaga penyelenggara pendidikan dengan kurikulum umum adalah madrasah dan sekitar 91,1 persennya dikelola swasta.

3.      Masa Reformasi
Pada masa reformasi, UU No. 20/2003 tentang UUSPN khususnya Pasal 17 Ayat 2 dan Pasal 18 Ayat 3, madrasah diakui statusnya sederajat dengan sekolah umum. Namun, pemerintah masih enggan memberikan bantuan, apalagi pernah beredar Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Moh Ma`ruf, tanggal 21 September 2005 No. 903/2429/SJ tentang Pedoman Penyusunan APBD 2006 yang melarang pemerintah daerah mengalokasikan APBD kepada organisasi vertikal (termasuk terhadap madrasah).
Reformasi kemudian melahirkan PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Pada PP ini terdapat Pasal 12 ayat (1) yang menyebutkan pemerintah daerah memberi bantuan sumber daya pendidikan kepada pendidikan keagamaan. Anehnya, PP ini pun masih dianggap angin lalu. Masih banyak pemerintah daerah yang belum memberikan perimbangan dana kepada madrasah. Dana 20% pendidikan di APBD masih menjadikan madrasah sebagai sisipan.
Setelah reformasi digulirkan pada 1998, spektrum reformasi politik memancar ke mana-mana, termasuk ke wilayah pendidikan keagamaan. Madrasah harus mulai memikirkan posisinya di dunia pendidikan, nilai kehadirannya dan menyadari hak-haknya yang selama Orde Baru dimarjinalkan secara tidak adil- untuk mulai bangkit.
Kini saatnya era baru madrasah, yang ditandai dengan pembenahan internal di tahun-tahun mendatang. Kurikulum yang digunakan pun sama, tetap bercirikan madrasah, namun telah diperkaya dengan penggunaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006.

E.     Kebijakan Pemerintah Tentang Pendidikan dan Problematika yang Ditimbulkannya
Madrasah dalam khazanah kehidupan manusia Indonesia merupakan fenomena budaya yang berusia satu abad lebih, bahkan bukan salah satu wujud entitas budaya Indonesia yang dengan sendirinya menjalani proses sosialisasi yang relatif intensif. Indikasinya adalah kenyataan bahwa wujud entitas budaya ini telah diakui dan diterima kehadirannya. Secara berangsur-angsur ia telah memasuki arus utama pembangunan bangsa menjelang abad-20.[8]
Melihat kenyataan sejarah, kita tentunya bangga dengan sistem dan lembaga pendidikan Islam madrasah yang ada di Indonesia. Apalagi dengan metode dan kurikulum pelajarannya yang sudah mengadaptasi sistem pendidikan serta kurikulum pelajaran umum. Peran dan kontribusi madrasah yang begitu besar itu pada gilirannya sejak awal kemerdekaan sangat terkait dengan peran Departemen Agama yang mulai resmi berdiri 3 Januari 1946. Lembaga inilah yang secara intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia. Orientasi usaha Departemen Agama dalam bidang pendidikan Islam bertumpu pada aspirasi umat Islam agar pendidikan agama diajarkan di sekolah-sekolah, di samping pada pengembangan madrasah itu sendiri.
Sungguhpun pendidikan Islam di Indonesia telah berjalan lama dan mempunyai sejarah yang panjang, namun dirasakan pendidikan Islam masih tersisih dari Sistem Pendidikan Nasional. Keadaan ini berlangsung sampai dengan dikeluarkannya peraturan Menteri Agama Nomor 1 tahun 1946 dan peraturan Menteri Agama No.7 tahun 1950, serta Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri ( Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri dalam Negeri) tahun 1975, tentang penyetaraan pendidikan madrasah serta peningkatan mutu madrasah, yang berusaha mengembalikan mainstream pendidikan nasional. [9]
SKB Tiga Menteri merinci bagian-bagian yang menunjukkan kesetaraan madrasah dengan sekolah. Dalam Bab I pasal I, ayat (2) misalnya dinyatakan:
Madrasah itu mempunyai tiga tingkatan:
a.       Madrasah Ibtidaiyah, setingkat dengan Sekolah Dasar.
b.      Madrasah Tsanawiyah, setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama.
c.       Madrasah Aliyah, setingkat dengan Sekolah Menengah Atas.
Mengenai pengelolaan dan pembinaan dinyatakan dalam Bab IV pasal 4 sebagai berikut:
a.       Pengelolaan Madrasah dilakukan oleh Menteri Agama.
b.      Pembinaan mata pelajaran agama pada madrasah dilakukan oleh Menteri Agama.
c.       Pembinaan dan pengawasan mutu pelajaran umum dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.
Kebijakan ini membawa pengaruh yang sangat besar bagi madrasah, karena pertama, ijazah dapat mempunyai nilai yang sama dengan sekolah umum yang sederajat, kedua, lulusan sekolah madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih tinggi, ketiga, siswa madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat. [10]
Dengan terbitnya SKB tiga Menteri itu madrasah memperoleh definisi yang semakin jelas sebagai lembaga pendidikan yang setara dengan sekolah sekalipun pengelolaannya tetap berada di bawah Departemen Agama. Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam kini ditempatkan sebagai pendidikan sekolah dalam sistem pendidikan nasional. Munculnya SKB tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri dalam Negeri) menandakan bahwa eksistensi madrasah sudah cukup kuat beriringan dengan sekolah umum. Di samping itu, munculnya SKB tiga menteri tersebut juga dinilai sebagai langkah positif bagi peningkatan mutu madrasah baik dari status, nilai ijazah maupun kurikulumnya Di dalam salah satu diktum pertimbangkan SKB tersebut disebutkan perlunya diambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar lulusan dari madrasah dapat melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah umum dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Ditinjau dari pelaksanaan, SKB Tiga Menteri memiliki beberapa problema antara lain: [11]
a.       Tenaga pengajar.
Salah satu problema yang dihadapi oleh madrasah SKB Tiga Menteri adalah masih kekurangan guru baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Kekurangan guru ini terasa sekali pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, Matematika, dan mata pelajaran umum lainnya. Usaha mengatasi kekurangan ini telah diusahakan dengan jalan membuka jurusan Tadris pada Fakultas Tarbiyah di sebahagian IAIN
b.      Sarana dan fasilitas.
Karena Madrsah mempunyai jurusan, maka diperlukanlah labolatorium, serta sarana dan fasilitas lain yang memadai untuk menunjang keberhasilan proses belajar mengajar, untuk itu diperlukan dana yang memadai pula. Tetapi kebanyakan madrasah mempunyai dana yang terbatas, sehingga dengan demikian sarana yang dimiliki masih terbatas pula.
c.       Waktu/ jam pelajaran
Madrasah SKB Tiga Menteri ini tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama saja, tetapi juga ilmu-ilmu umum bahkan pada tingkat Aliyah dibuka program studi ilmu-ilmu fisika, biologi, ilmu-ilmu sosial dan pengetahuan budaya. Berdasarkan uraian tersebut, maka otomatis dibutuhkan waktu belajar yang semestinya lebih banyak dari sekolah umum.
d.      Dana
Madrasah-madrasah baik swasta maupun negeri di Indonesia pada umumnya masih kekurangan dana. Untuk menanggulangi kekurangan dana ini dapat diupayakan antara lain membentuk kerjasama antara orang tua, guru dan pemerintah yang lebih terprogram.
e.       Organisasi
Sebaiknya untuk meningkatkan mutu madrasah dibentuk badan kerjasama antara Departemen Agama dengan Departemen Pendidikan Nasional. Dari Departemen Pendidikan nasional Nasional dihaarapkan banyak bantuan dalam bidang tenaga pengajar dan lain sebagainya.
Lalu pada perkembangan selanjutnya, akhir dekade 1980-an dunia pendidikan Islam memasuki era integrasi dengan lahirnya UU No. 2/1989 tentang sistem Pendidikan Nasional, Madrasah memposisikan diri sebagai lembaga yang memadukan ilmu-ilmu diniyah dengan ilmu-ilmu sosial/humaniora dan ilmu-ilmu kealaman. Eksistensi madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam semakin mendapatkan tempatnya. Tetapi ini yang menjadi problema ketika format madrasah dari waktu ke waktu  semakin jelas sosoknya, sementara isi dan visi keislaman terus mengalami perubahan.
Berikut ini adalah contoh kurikulum yang diajarkan di madrasah Ibtidaiyah yang merupakan perpaduan antara ilmu umum dan ilmu agama:
3.      Pendidikan pancasila dan kewarganegaraan.
4.      Pendidikan Agama Islam:
a.       Qur’an Hadits
b.      Aqidah akhlak
c.       Fiqh
d.      Sejarah kebudayaan Islam
e.       Bahasa Arab
5.      Bahasa Indonesia
6.      Matematika
7.      Ilmu Pengetahuan Alam
8.      Ilmu Pengetahuan Sosial
9.      Kerajinan Tangan dan Kesenian
10.  Pendidikan Jasmani dan Kesehatan
11.  Bahasa Inggris
12.  Muatan Lokal.
            Dari sudut pandang pengalokasian waktu kurikulum tersebut perbandingan nya adalah 30% tuk mata pelajaran agama dan 70% untuk mata pelajaran umum. Sebenarnya sangat tidak memuaskan untuk para siswa yang menginginkan belajar agama di madrasah, karena alokasi waktu yang sedikit dibandingkan mata pelajaran umum. Tapi memang begitulah adanya madrasah, yang kalau bisa dikatakan setengah-setengah dalam menyajikan kurikulum. Tidak untuk menjadi ilmuan juga tidak untuk menjadi agamawan. Jika ingin menjadi ilmuan sekolah umum tempatnya, dan jika ingin menjadi agamawan, pesantren lah tempatnya. Madrasah merupakan perpaduan antara sekolah umum dan pesantren.
Memang diakui secara jujur bahwa hasil perpaduan utuh tersebut belum dapat diraih oleh madrasah, disebabkan adanya problem intern dan ekstern. Problem yang bersifat intern meliputi tenaga pengajar, sarana, waktu, dana dan organisasi pengelola. Sedangkan problem ekstern adalah hubungan madrasah dengan lembaga-lembaga di luar Departemen Agama.
Meskipun pemerintah melalui Departemen Agama sudah banyak melakukan perubahan dan perumusan kebijakan di sana-sini untuk memajukan madrasah, namun itu belum terlalu berhasil jika dibandingkan dengan sekolah umum yang dikelola oleh Departemen Pendidikan.                                                                                                                            
              Realitasnya, masyarakat hingga periode 90-an masih mempunyai sense of interest yang tinggi untuk masuk ke sekolah-sekolah umum yang dinilainya mempunyai prestise yang lebih baik daripada madrasah. Lebih dari itu, dengan masuk ke sekolah-sekolah umum, masa depan siswa akan lebih terjamin ketimbang masuk ke madrasah. Hal itu bisa jadi disebabkan oleh image yang menggambarkan lulusan-lulusan madrasah tidak mampu bersaing dengan lulusan-lulusan dari sekolah-sekolah umum. Lulusan madrasah hanya mampu menjadi seorang guru agama atau ustdaz, begitu juga sebaliknya. 
Sebagai upaya inovasi dalam Sistem Pendidikan Islam, madrasah tidak lepas dari berbagai problema yang dihadapi. Problema-problema tersebut antara lain:
  1. Madrasah telah kehilangan akar sejarahnya, artinya keberadaan madrasah bukan merupakan kelanjutan pesantren, meskipun diakui bahwa pesantren merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam pertama di Indonesia.
  2. Terdapat dualisme pemaknaan terhadap madrasah. Di satu sisi, madrasah diidentikkan dengan sekolah karena memiliki muatan secara kurikulum yang relatif sama dengan sekolah umum. Di sisi lain, madrasah dianggap sebagai pesantren dengan sistem klasikal yang kemudian dikenal dengan madrasah diniyah.
Dengan demikian, sebagai sub sistem pendidikan nasional, madrasah belum memiliki jati diri yang dapat dibedakan dari lembaga pendidikan lainnya. Diakui bahwa model pendidikan madrasah di dalam perundang-undangan negara, memunculkan dualisme sistem Pendidikan di Indonesia. Dualisme pendidikan di Indonesia telah menjadi dilema yang belum dapat diselesaikan hingga sekarang. Dualisme ini tidak hanya berkenaan dengan sistem pengajarannya tetapi juga menjurus pada keilmuannya. Pola pikir yang sempit cenderung membuka gap antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum. Seakan-akan muncul ilmu Islam dan ilmu bukan Islam (kafir). Padahal dikhotomi keilmuan ini justru menjadi garapan bagi para pakar pendidikan Islam untuk berusaha menyatukan keduanya.
Dualisme pendidikan Islam juga muncul dalam bidang manajerialnya, khususnya di lembaga swasta. Lembaga swasta umumnya memiliki dua top manager yaitu kepala madrasah dan ketua yayasan (atau pengurus). Meskipun telah ada garis kewenangan yang memisahkan kedua top manager tersebut, yakni kepala madrasah memegang kendali akademik sedangkan ketua yayasan (pengurus) membidangi penyediaan sarana dan prasarana, sering di dalam praktik terjadi overlapping. Praktek manajemen di madrasah sering menunjukkan model manajemen tradisional, yakni model manajemen paternalistik atau feodalistik. Dominasi senioritas semacam ini terkadang mengganggu perkembangan dan peningkatan kualitas pendidikan.
Munculnya kreativitas inovatif dari kalangan muda terkadang dipahami sebagai sikap yang tidak menghargai senior. Kondisi yang demikian ini mengarah pada ujung ekstrem negatif, hingga muncul kesan bahwa meluruskan langkah atau mengoreksi kekeliruan langkah senior dianggap tabiat su’ul adab.
Kesenjangan antara madrasah swasta dan madrasah negeri pun tampaknya juga menjadi masalah yang belum tuntas diselesaikan. Gap tersebut meliputi beberapa hal seperti pandangan guru, sarana dan prasarana, kualitas input siswa dan sebagainya yang kesemuanya itu berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung kepada mutu pendidikan. Yang demikian ini karena munculnya SKB tiga menteri tersebut belum diimbangi penyediaan guru, buku-buku dan peralatan lain dari departemen terkait

F.     Madrasah Merespon Tantangan Globalisasi
Sebelum mengalami perkembangan seperti sekarang ini, madrasah hanya diperuntukkan bagi kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah. Namun sejak mulai mengadopsi sistem pendidikan moderen yang berasal dari Barat sambil tetap mempertahankan yang sudah ada dan dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang mendukung iklim pembelajaran siswa dan pengajaran siswa, madrasah (atau sekolah Islam) sekarang sudah sangat diminati oleh kalangan masyarakat kelas menengah ke atas. Apalagi madrasah sekarang ini sudah banyak yang menjalankan apa yang disebut sebagai English Daily. Semua guru dan siswa dalam kegiatan belajar mengajar harus berbicara dalam bahasa Inggris, seperti Madrasah Pembangunan UIN Jakarta, MTs Negeri 12 Jakarta, MTs N 1 Jakarta.
Kemampuan bahasa asing yang bagus di era globalisasi seperti sekarang ini mutlak diperlukan. Oleh karena itu, di beberapa madrasah dan sekolah Islam itu kemudian tidak hanya memberikan pengetahuan bahasa Inggris saja. Lebih dari itu, pengetahuan bahasa asing lainnya juga absolut diajarkan oleh madrasah seperti bahasa Arab misalnya. Atau bahasa Jepang, Mandarin dan lainnya pada tingkat Madrasah Aliyah, contohnya Madrasah Pembangunan UIN Jakarta, MA Nurul Jadid Paiton, dll.
Di samping itu, dalam menghadapi era globalisasi, madrasah sebagai institusi pendidikan Islam tidak lantas cukup merasa puas atas keberhasilan yang telah dicapainya dengan memberikan pengetahuan bahasa asing kepada para siswanya dan desain kurikulum pendidikan yang kompatibel dan memang dibutuhkan oleh madrasah.
Akan tetapi, justru madrasah harus terus berpikir ulang secara berkelanjutan yang mengarah kepada progresivitas madrasah dan para siswanya. Oleh karena itu, dalam pendidikan madrasah memang sangat diperlukan pendidikan keterampilan. Pendidikan keterampilan ini bisa berbentuk kegiatan ekstra kurikuler atau kegiatan intra kurikuler yang berupa pelatihan atau kursus komputer, tari, menulis, musik, teknik, montir, lukis, jurnalistik atau mungkin juga kegiatan olahraga seperti sepak bola, basket, bulu tangkis, catur dan lain sebagainya. Dari pendidikan keterampilan nantinya diharapkan akan berguna ketika para siswa lulus dari madrasah. Karena jika sudah dibekali dengan pendidikan keterampilan, ketika ada siswa yang tidak dapat melanjutkan sekolahnya ke tingkat yang lebih tinggi seperti universitas misalnya, maka siswa dengan bekal keterampilan yang sudah pernah didapatnya ketika di madrasah tidak akan kesulitan lagi dalam upaya mencari pekerjaan.
Jadi, sangat penting bagi madrasah untuk mengembangkan pendidikan keterampilan tersebut. Sebab, dengan begitu siswa akan langsung dapat mengamalkan ilmunya setelah lulus dari madrasah atau sekolah Islam. Namun  semua itu tentunya harus dilakukan secara profesional.
Dengan adanya pendidikan keterampilan di sekolah-sekolah Islam atau madrasah, lulusan madrasah diharapkan mampu merespon tantangan dunia global yang semakin kompetitif. Dan nama serta citra madrasah juga tetap akan terjaga. Karena ternyata alumni-alumni madrasah mempunyai kompetensi yang tidak kalah kualitasnya dengan alumni sekolah-sekolah umum.

G.    TANGGUNG JAWAB MADRASAH
“Hampir 20% dari 6 juta anak usia sekolah di negeri ini berada dalam (mengikuti) proses pendidikan di Madrasah. Angka 20% tersebut adalah angka yang besar. Jika tidak dikelola dengan baik oleh madrasah maka mereka hanya akan menjadi beban bangsa yang tidak jelas nasibnya karena tidak memiliki kompetensi yang relevan dengan zamannya. Mereka hanya dihitung tetapi tidak tidak diperhitungkan. Oleh karena itu madrasah diharapkan dapat ditata, dikembangkan secara professional (jangan asal jalan). Harapan ini ditujukan kepada semua pihak yang terlibat dengan eksistensi madrasah, tidak hanya kepala madrasah atau guru-guru tetapi termasuk para pejabat Departemen
Departemen Agama dari Pusat hingga Kandepag Kota/Kabupaten. Langkah-langkah yang perlu segera direalisasikan oleh madrasah dalam kaitannya dengan peningkatan mutu madrsah yang dibuktikan dengan out put yang berkualitas adalah sebagai berikut:
1. Akuntabilitas Proses
Untuk meningkatkan mutu madrasah, maka upaya yang paling efektif dengan cara peningkatan akuntabilitas proses pendidikannya. Akuntabilitas proses diharapkan benar-benar mampu menjamin madrasah yang dapat menjaga dan meningkatkan mutunya secara progresif dan terus menerus. Mutu disini tidak hanya menyangkut masalah isi saja, melainkan juga kesesuaian metodologi pembelajaran.
2. Profesionalisme
Profesionalisme merupakan aspek penting lainya untuk menentukan kualitas pendidikan. Selama ini di madrasah belum sepenuhnya menempatkan para professional secara memadai untuk menunjang kegiatannya. Dengan kata lain bahwa para personil madrasah yang professional merupakan tumpuan keberhasilan suatu system yang berkualitas.
3. Meningkatkan Anggaran Biaya
Berkenaan dengan pembiayaan madrasah, maka perlu upaya sistimatis dan terprogram untuk memperjuangkan anggaran pendidikan lebih besar dari keadaan sekarang, sehingga pos-pos pengeluaran untuk kepentingan peningkatan mutu madrasah dapat terpenuhi secara baik, seperti pengadaan sarana dan prasarana madrasah yang sampai saat ini masih belum memenuhi harapan. Pemerataan dan keadilan dalam alokasi anggaran pendidikan diharapkan mampu mendorong pemerataan dalam mutu dan efisiensi pendidikan.
Selain dana-dana pemerintah, madrasah sudah harus memikirkan untuk memiliki sumber dana mandiri permanent. Artinya, madrasah sudah harus memiliki unit-unit usaha yang dikelola dari dan untuk masyarakat madrasah itu sendiri. Omset bulanan dari unit-unit usaha ini tidak mustahil bisa melebihi jumlah bantuan yang selama ini disubsidi oleh pemerintah, seperti halnya yang telah dilakukan oleh Madrasah Tsanawiyah (MTs) Pembina Jakarta, Madrasah Tsanawiyah (MTs) Negeri 2 Malang atau Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 3 Malang dan masih banyak lagi sekolah atau madrasah yang mampu survive dengan sumber dana mandiri dan permanent dalam arti tidak sepenuhnya menggantung harapan pada bantuan pemerintah.
4.      Meningkatkan Peran serta Masyarakat.
Menyadari akan pentingnya peran serta masyarakat dalm peningkatan mutu madrasah, maka peranserta masyarakat haruslah dimaknai secara luas, yang tidak hanya memberikan kontribusi secara finansial yang sebanyak-banyaknya bagi kepentingan madrasah seperti yang dilakukan Komite Madrasah atau BP3 selama ini, namun juga sama pentingnya yaitu keterlibatan masyarakat dalam memerankan dirinya sebagai pengendali kualitas madrasah.
5.      Evaluasi Diri
Istilah evaluasi diri saat ini dipakai pada perguruan tinggi untuk mengukur kemajuan dan apa yang telah dicapai dan aspek-aspek lainnya yang perlu diperbaiki. Evaluasi diri ini merupakan keadaan dimana kita dapat melihat tingkat keberhasilan proses pendidikan yang berlangsung di madrasah serta kelemahannya sehingga dapat segera diperbaiki.

H. Kesimpulan
Kata madrasah berasal dari bahasa Arab yang artinya tempat belajar, kata madrasah dalam bahasa Indonesia adalah sekolah, lebih dikhusus lagi sekolah-sekolah agama Islam. kebangkitan dan petumbuhan madrasah di Indonesia, Mulai dari masa sebelum kemerdekaan RI (penjajahan Belanda dan Jepang) sampai masa sesudah kemerdekaan RI (Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi).
Latar belakang kelahiran madrasah itu bertumpu pada dua faktor penting. Pertama, pendidikan Islam tradisional dianggap kurang sistematik dan kurang memberikan kemampuan pragmatis yang memadai. Dan kedua, laju perkembangan sekolah-sekolah ala Belanda di kalangan masyarakat cenderung meluas dan membawakan watak sekulerisme sehingga harus diimbangi dengan sistem pendidikan Islam yang memiliki model dan organisasi yang lebih teratur dan terencana.
Sungguhpun pendidikan Islam di Indonesia telah berjalan lama dan mempunyai sejarah yang panjang, namun dirasakan pendidikan Islam masih tersisih dari Sistem Pendidikan Nasional. Keadaan ini berlangsung sampai dengan dikeluarkannya peraturan Menteri Agama Nomor 1 tahun 1946 dan peraturan Menteri Agama No.7 tahun 1950, serta Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri ( Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri dalam Negeri) tahun 1975, tentang penyetaraan pendidikan madrasah serta peningkatan mutu madrasah, yang berusaha mengembalikan mainstream pendidikan nasional.
Melihat kenyataan sejarah, kita tentunya bangga dengan sistem dan lembaga pendidikan Islam madrasah yang ada di Indonesia. Apalagi dengan metode dan kurikulum pelajarannya yang sudah mengadaptasi sistem pendidikan serta kurikulum pelajaran umum

















[1] Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren Sekolah dan Madrasah, (Yogyakata: Tiara Wacana, 2001), h. 59.
[2] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h. 94.
[3] Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 114.
[4] S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), h. 5.
[5] Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pascakemerdekaan, (Jakarta: Rajawali Press, 2008), h. 11
[6] Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), h. 57
[7] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara, 1995), h.130.
[8]Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modrenitas, (Bandung: Mizan, 1998), h. 18-19.
[9]H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h.147.
[10]Abdurrahman Saleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan Visi, Misi, dan Aksi, (Jakarta: Gemawindu Pancaperkasa, 2000), h.114.
[11]Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam, (Bandung: Citapustaka Media, 2004), h.84-87.

Sabtu, 19 Februari 2011

MODEL PEMBELAJARAN QUANTUM LEARNING

MODEL PEMBELAJARAN QUANTUM LEARNING

  1. Pendahuluan
Model pembelajaran merupakan suatu pola/rencana yang dilakukan untuk mengorganisir unsur-unsur (komponen-komponen) pembelajaran. Model pembelajaran dalam penerapannya, secara umum bercirikan lima hal : sintaksis, hubungan guru-murid (prinsip reaksi guru), system sosial, penunjang (sistem pendukung), dan dampak instruksional (efek pengajaran / pengiring).
Proses belajar mestinya berjalan menyenangkan untuk anak-anak didik. Ini adalah hal yang sesungguhnya sangat mendasar dari sebuah proses belajar. Quantum Learning merupakan strategi belajar yang bisa digunakan oleh siapa saja selain sisiwa dan guru karena memberikan gambaran untuk mendalami apa saja dengan cara mantap dan berkesan. Caranya, seorang pembelajar harus mengetahui terlebih dahulu gaya belajar, gaya berpikir, dan situasi dirinya. Dengan begitu, pembelajar akan dengan cepat mendalami sesuatu. Banyak orang yang telah merasakan hasilnya setelah mengkaji sesuatu dengan cara Quantum Learning. Segalanya dapat dengan mudah, cepat, dan mantap dikaji dan didalami dengan suasana yang menyenangkan.
Dalam makalah ini akan dijelaskan lebih lanjut tentang model pembelajaran Quantum Learning yaitu pengertian, prinsip-prinsip serta kelebihan dan kekurangan dari model pembelajaran ini.

  1. Pengertian Quantum Learning
Quantum ialah interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Quantum Learning ialah pengajaran yang dapat mengubah suasana belajar yang menyenangkan serta mengubah kemampuan dan bakat alamiah siswa menjadi cahaya yang akan bermanfaat bagi mereka sendiri dan bagi orang lain. Quantum Learning merupakan orkestrasi bermacam-macam interaksi yang di dalam dan sekitar momen belajar atau suatu pembelajaran yang mempunyai misi utama untuk mendesain suatu proses belajar yang menyenangkan yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa. Interaksi-interaksi ini mencakup unsur-unsur untuk belajar efektif yang mempengaruhi kesuksesan siswa. [1]
            Quantum learning ialah kiat, petunjuk, strategi, dan seluruh proses belajar yang dapat mempertajam pemahaman dan daya ingat, serta membuat belajar sebagai suatu proses yang menyenangkan dan bermanfaat. Beberapa teknik yang dikemukakan merupakan teknik meningkatkan kemampuan diri yang sudah populer dan umum digunakan. Namun, Bobbi DePorter mengembangkan teknik-teknik yang sasaran akhirnya ditujukan untuk membantu para siswa menjadi responsif dan bergairah dalam menghadapi tantangan dan perubahan realitas (yang terkait dengan sifat jurnalisme). Quantum learning berakar dari upaya Georgi Lozanov, pendidik berkebangsaan Bulgaria.
Ia melakukan eksperimen yang disebutnya suggestology (suggestopedia). Prinsipnya adalah bahwa sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap detil apa pun memberikan sugesti positif atau negatif. Untuk mendapatkan sugesti positif, beberapa teknik digunakan. Para murid di dalam kelas dibuat menjadi nyaman. Musik dipasang, partisipasi mereka didorong lebih jauh. Poster-poster besar, yang menonjolkan informasi, ditempel. Guru-guru yang terampil dalam seni pengajaran sugestif bermunculan.
Selanjutnya Porter dkk mendefinisikan quantum learning sebagai “interaksi-interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya.” Mereka mengamsalkan kekuatan energi sebagai bagian penting dari tiap interaksi manusia. Dengan mengutip rumus klasik E = mc2, mereka alihkan ihwal energi itu ke dalam analogi tubuh manusia yang “secara fisik adalah materi”. “Sebagai pelajar, tujuan kita adalah meraih sebanyak mungkin cahaya: interaksi, hubungan, inspirasi agar menghasilkan energi cahaya”. Pada kaitan inilah, quantum learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar, dan NLP dengan teori, keyakinan, dan metode tertentu. Termasuk konsep-konsep kunci dari teori dan strategi belajar, seperti: teori otak kanan/kiri, teori otak triune (3 in 1), pilihan modalitas (visual, auditorial, dan kinestik), teori kecerdasan ganda, pendidikan holistik, belajar berdasarkan pengalaman, belajar dengan simbol (metaphoric learning), simulasi/permainan.[2]
Beberapa hal yang penting dicatat dalam quantum learning adalah sebagai berikut. Para siswa dikenali tentang “kekuatan pikiran” yang tak terbatas. Ditegaskan bahwa otak manusia mempunyai potensi yang sama dengan yang dimilliki oleh Albert Einstein. Selain itu, dipaparkan tentang bukti fisik dan ilmiah yang memberikan bagaimana proses otak itu bekerja. Melalui hasil penelitian Global Learning, dikenalkan bahwa proses belajar itu mirip bekerjanya otak seorang anak 6-7 tahun yang seperti spons menyerap berbagai fakta, sifat-sifat fisik, dan kerumitan bahasa yang kacau dengan “cara yang menyenangkan dan bebas stres”. Bagaimana faktor-faktor umpan balik dan rangsangan dari lingkungan telah menciptakan kondisi yang sempurna untuk belajar apa saja. Hal ini menegaskan bahwa kegagalan, dalam belajar, bukan merupakan rintangan. Keyakinan untuk terus berusaha merupakan alat pendamping dan pendorong bagi keberhasilan dalam proses belajar. Setiap keberhasilan perlu diakhiri dengan “kegembiraan dan tepukan.”[3]
Berdasarkan penjelasan mengenai apa dan bagaimana unsur-unsur dan struktur otak manusia bekerja, dibuat model pembelajaran yang dapat mendorong peningkatan kecerdasan linguistik, matematika, visual/spasial, kinestetik/perasa, musikal, interpersonal, intarpersonal, dan intuisi. Bagaimana mengembangkan fungsi motor sensorik (melalui kontak langsung dengan lingkungan), sistem emosional-kognitif (melalui bermain, meniru, dan pembacaan cerita), dan kecerdasan yang lebih tinggi (melalui perawatan yang benar dan pengondisian emosional yang sehat).[4]
Bagaimana memanfaatkan cara berpikir dua belahan otak “kiri dan kanan”. Proses
berpikir otak kiri (yang bersifat logis, sekuensial, linear dan rasional), misalnya, dikenakan dengan proses pembelajaran melalui tugas-tugas teratur yang bersifat ekspresi verbal, menulis, membaca, asosiasi auditorial, menempatkan detil dan fakta, fonetik, serta simbolisme.
Proses berpikir otak kanan (yang bersifat acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik), dikenakan dengan proses pembelajaran yang terkait dengan pengetahuan nonverbal (seperti perasaan dan emosi), kesadaran akan perasaan tertentu (merasakan kehadiran orang atau suatu benda), kesadaran spasial, pengenalan bentuk dan pola, musik, seni,
kepekaan warna, kreatifitas dan visualisasi.
Semua itu, pada akhirnya, tertuju pada proses belajar yang menargetkan tumbuhnya “emosi positif, kekuatan otak, keberhasilan, dan kehormatan diri.” Keempat unsur ini bila digambarkan saling terkait. Dari kehormatan diri, misalnya, terdorong emosi positif yang mengembangkan kekuatan otak, dan menghasilkan keberhasilan, lalu (balik lagi) kepada penciptaan kehormatan diri.
Dari proses inilah, quantum learning menciptakan konsep motivasi, langkah-langkah menumbuhkan minat, dan belajar aktif. Membuat simulasi konsep belajar aktif dengan gambaran kegiatan seperti: “belajar apa saja dari setiap situasi, menggunakan apa yang Anda pelajari untuk keuntungan Anda, mengupayakan agar segalanya terlaksana, bersandar pada kehidupan.” Gambaran ini disandingkan dengan konsep belajar pasif yang terdiri dari: “tidak dapat melihat adanya potensi belajar, mengabaikan kesempatan untuk berkembang dari suatu pengalaman belajar, membiarkan segalanya terjadi, menarik diri dari kehidupan.”
Dalam kaitan itu pula, antara lain, quantum learning mengonsep tentang “menata pentas: lingkungan belajar yang tepat.” Penataan lingkungan ditujukan kepada upaya membangun dan mempertahankan sikap positif. Sikap positif merupakan aset penting untuk belajar. Peserta didik quantum dikondisikan ke dalam lingkungan belajar yang optimal baik secara fisik maupun mental. Dengan mengatur lingkungan belajar demikian rupa, para pelajar diharapkan mendapat langkah pertama yang efektif untuk mengatur pengalaman belajar.
Penataan lingkungan belajar ini dibagi dua yaitu: lingkungan mikro dan lingkungan makro. Lingkungan mikro ialah tempat peserta didik melakukan proses belajar (bekerja dan berkreasi). Quantum learning menekankan penataan cahaya, musik, dan desain ruang, karena semua itu dinilai mempengaruhi peserta didik dalam menerima, menyerap, dan mengolah informasi. Ini tampaknya yang menjadi kekuatan orisinalitas quantum learning. Akan tetapi, dalam kaitan pengajaran umumnya di ruang-ruang pendidikan di Indonesia, lebih baik memfokuskan perhatian kepada penataan lingkungan formal dan terstruktur seperti: meja, kursi, tempat khusus, dan tempat belajar yang teratur. Target penataannya ialah menciptakan suasana yang menimbulkan kenyamanan dan rasa santai. Keadaan santai mendorong siswa untuk dapat berkonsentrasi dengan sangat baik dan mampu belajar dengan sangat mudah. Keadaan tegang menghambat aliran darah dan proses otak bekerja serta akhirnya konsentrasi siswa.
Lingkungan makro ialah “dunia yang luas.” Peserta didik diminta untuk menciptakan ruang belajar di masyarakat. Mereka diminta untuk memperluas lingkup pengaruh dan kekuatan pribadi, berinteraksi sosial ke lingkungan masyarakat yang diminatinya. “Semakin siswa berinteraksi dengan lingkungan, semakin mahir mengatasi sistuasi-situasi yang menantang dan semakin mudah Anda mempelajari informasi baru,” tulis Porter. Setiap siswa diminta berhubungan secara aktif dan mendapat rangsangan baru dalam lingkungan masyarakat, agar mereka mendapat pengalaman membangun gudang penyimpanan pengertahuan pribadi. Selain itu, berinteraksi dengan masyarakat
juga berarti mengambil peluang-peluang yang akan datang, dan menciptakan peluang jika tidak ada, dengan catatan terlibat aktif di dalam tiap proses interaksi tersebut (untuk belajar lebih banyak mengenai sesuatu). Pada akhirnya, interaksi ini diperlukan untuk mengenalkan siswa kepada kesiapan diri dalam melakukan perubahan. Mereka tidak boleh terbenam dengan situasi status quo yang diciptakan di dalam lingkungan mikro. Mereka diminta untuk melebarkan lingkungan belajar ke arah sesuatu yang baru. Pengalaman mendapatkan sesuatu yang baru akan memperluas “zona aman, nyaman dan merasa dihargai” dari siswa.
Quantum Learning merupakan pengubahan belajar yang meriah dengan segala nuansanya. Dan juga menyertakan segala kaitan,interakasi dan perbedaan yang memaksimalkan momen belajar. Dengan demikian, Quantum Learning berfokus pada hubungan dinamis dalam lingkungan kelas-interaksi yang mendirikan landasan dan kerangka untuk belajar.
Quantum learning merupakan penerapan cara belajar baru yang lebih melihat kemampuan siswa berdasarkan kelebihan atau kecerdasan yang dimilikinya. Quantum berarti percepatan atau lompatan. Kerangka pemikiran yang dibangun oleh ciri pembelajaran quantum learning ini adalah adanya sikap positif yang dibangun dalam diri siswa, dengan meyakinkan siswa bahwa setiap manusia mempunyai kekuatan pikiran yang tidak terbatas. Ada yang beranggapan bahwa otak kita sama dengan otak Einstein. Dengan mempercayai kekuatan pikiran, kita dapat mengetahui dalil tentang otak, bahwa otak harus dilatih dan tidak masalah jika harus digunakan secara terus menerus. Kita hanya tinggal memilih saja, ingin memanfaatkan organ yang paling penting dalam hidup ini atau mengabaikannya sehingga menjadi tidak berguna.
Dalam quantum learning guru sebagai pengajar tidak hanya memberikan bahan ajar, tetapi juga memberikan motivasi kepada siswanya, sehingga siswa merasa bersemangat dan timbul kepercayaan dirinya untuk belajar lebih giat dan dapat melakukan hal-hal positif sesuai dengan tipe kecerdasan yang dimilikinya. Cara belajar yang diberikan kepada siswa pun harus menarik dan bervariasi, sehingga siswa tidak merasa jenuh untuk menerima materi pelajaran. Disamping itu, lingkungan belajar yang nyaman juga dapat membuat suasana kelas menjadi kondusif. Siswa dapat menangkap materi yang diajarkan dengan mudah karena lebih mudah untuk fokus kepada penyampaian guru. Pembelajaran pada quantum learning menuntut setiap siswa untuk bisa membaca secara cepat dan membuat ringkasan berupa catatan terserah senyamannya cara mereka meringkasnya bagaimana.
Saat kita belajar adalah saat yang harus dibangun sebagai sesuatu yang menyenangkan. Maksudnya yaitu ada manfaat yang kita dapat dari hasil belajar. Ketika kita merasa bahwa ada manfaat yang kita dapat dari belajar, maka dapat dikatakan proses belajar yang telah kita jalani memperoleh keberhasilan. Bagaimana proses belajar yang baik? Proses belajar yang baik harus dirasakan sebagai sesuatu yang menyenangkan, oleh karena itu guru harus mencari cara terbaik untuk membuat siswa merasa nyaman dan bersahabat ketika melakukan kegiatan belajar mengajar. Ada beberapa fase belajar yang dominan dalam hidup kita yang menunjukan masa-masa dimana belajar merupakan suatu kebutuhan dan paksaan bagi kita. Masa-masa awal belajar dimulai pada umur satu tahun, fase dimana kita mau tidak mau belajar untuk berjalan. Umur dua tahun yaitu fase belajar berkomunikasi karena keinginan dalam diri untuk bisa berbicara dengan orang lain. Pada umur lima tahun, kita sudah mulai tahu sekitar 90% kata-kata yang kita dengar dari orang lain. Enam tahun, fase kita belajar membaca dan masa-masa penurunan semangat belajar adalah ketika umur tujuh tahu, fase dimana kita mulai menganggap belajar sebagai sesuatu yang menyebalkan dan menakutkan. Oleh sebab itu pada masa ini peran orangtua dan guru sangat dibutuhkan.
Sebagai tambahan saja, dalam sehari diperkirakan seorang anak menerima sekitar 460 komentar negatif dan hanya 75 komentar positif. Hal inilah yang merupakan kesalahan dari orang-orang terdekat si anak, karena pujian dan motivasi kurang diberikan kepada anak. Anak akan merasa down karena merasa kurangnya dukungan dari orang sekitar. Padahal kalau kita telaah, setiap anak memiliki kecerdasan yang berbagai macam beserta kelebihan dan kekurangannya. Tidak ada salahnya untuk memberikan dukungan kepada anak. Karena rasa percaya diri yang diperolehnya seorang anak dapat mengembangkan minat dan bakatnya melalui kecerdasan yang dimilikinya. Macam-macam kecerdasan yang dimaksud tadi diantaranya yaitu : kecerdasan linguistik (kecerdasan berbahasa), logika-matematik, visual atau spasial (mampu mengaitan dan menghubungkan suatu hal secara analiti), kinestetik (gerak sensor motorik), musikal, intrapersonal (mampu mengendalikan emosi dan tahu jati dirinya), dan yang terakhir yaitu interpersonal (bisa berkomunikasi dengan baik dan senang bersosialisasi dengan orang lain).
Otak manusia tumbuh karena adanya stimulus yang berasal dari sensor motorik yang memberikan kontak dengan lingkungan. Selain itu juga adanya sensor emosional-kognitif yang memberikan stimulus misalnya berupa bermain, meniru, mendongeng dalam diri anak. Sedangkan setiap manusia akan mencapai tahap yang lebih tinggi dalam tingkat kecerdasannya sesuai dengan perkembangan otak dan keingintahuannya, yaitu tahap pembelajaran. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli selama bertahun-tahun dipercayai otak manusia terdiri dari dua bagian yaitu otak kanan dan dan kiri yang mempunyai kemampuan berbeda-beda. Pada otak kiri terdapat bermacam-macam kemampuan, yaitu kemampuan untuk berpikir logis, sekuensial, linear, rasinal (beralasan), konvergen, dan vertikal. Sedangkan otak kanan mempunyai kemampuan berpikir secara acak, tidak teratur (fokus berpindah-pindah), mempunyai sifat yang intuitif artinya pemanfaatan fakta yang ada dikembangkan menjadi lebih imajinatif, berpikir secara holistic atau menyeluruh dan terkait, dan pemikirannya divergen dan lateral.
Pendayagunaan otak sangat berpengaruh terhadap tipe belajar yang ditunjukkan oleh seorang anak. Hal itu dapat dilihat dari seberapa aktif dan pasif-kah partisipasi seorang anak dalam menikmati kegiatan belajar yang dilakukannya. Perbedaan yang mencolok diantara keduanya yaitu, pada tipe anak yang belajar aktif, ia akan belajar apa saja dari setiap situasi yang ada, memanfaatkan apa yang dipelajari sebagai keuntungan kita, selalu proaktif, dan bersandar pada kehidupan. Sedangkan tipe paasif merupakan kebalikkan dari tipe aktif. Hal ini bisa dibilang merupakan hal yang negatif, karena seorang anak tidak melihat kesempatan belajar yang ada, selalu mengabaikan peluang berkembang dari apa yang dipelajarinya, reaktif, dan menarik diri dari kehidupan.
Oleh sebab itu, ada baiknya mengenai betapa pentingnya manfaat belajar harus disampaikan kepada peserta didik sehingga siswa tahu apa saja hal-hal positif yang ia peroleh dari belajar. Dan juga agar siswa nantinya meningkatkan kemampuan belajarnya untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih luas, sehingga akan timbul pilihan hidup yang lebih banyak, maka akhirnya akan timbul rasa percaya diri yang menjadi kekuatan pribadinya. Untuk menciptakan rasa percaya diri tersebut dapat dilakukan dengan cara yang sangat mudah, yaitu setiap selesai atau berhasil mengerjakan suatu tugas, kita bisa merayakannya. Karena perayaan memberikan perasaan keberhasilan, kesempurnaan, kepercayaan diri, dan motivasi untuk langkah berikutnya.
Selain faktor internal tersebut, faktor eksternal sangat diperlukan guna menunjang motivasi belajar seorang siswa.[5] Dalam hal ini penataan ruang belajar sangat berpengaruh kenyamanan belajar siswa. Penataan lingkungan belajar meliputi perabotan, pencahayaan, musik, alat bantu visual, penempatan, temperature, tanaman, kenyamanan yang diciptakan oleh siswa maupun guru, dan suasana hati yang timbul dari semuanya itu. Kondisi belajar yang menyenangkan dapat juga dilakukan di rumah. Misalnya belajar sambil mendengarkan musik. Keuntungan yang diperoleh dari hal ini yaitu denyut nadi dan tekanan darah menjadi turun dan gelombang otak menjadi lambat sehingga kita akan merasa tenang dan rileks.
Mudah saja menemukan gaya belajar yang kita miliki, karena cara belajar yang kita miliki merupakan gabungan dari cara kita menyerap informasi, cara mengatur informasi, dan cara mengolah informasi yang kita dapat. Jika belajar dilakukan dengan bergantung pada kecerdasan anak, maka akan dapat dikelompokkan modalitas belajar, diantaranya yaitu dengan cara melihat (visual), dengan cara mendengar (auditorial), dan dengan cara melalui gerakan (kinestetik). Atau ada cara belajar terbaru yang saat ini sudah diaplikasikan oleh berbagai kalangan yaitu yang biasa kita kenal dengan sebutan mind-mapping (peta pikiran).[6] Banyak manfaat dari mind-mapping ini, salah satu diantaranya yaitu dapat mempermudah dan meringkas materi yang banyak muatannya.

  1. Prinsip-Prinsip Dalam Quantum Learning
Quantum Learning Model memiliki lima prinsip atau kebenaran tetap. Prinsip-prinsip ini dianggap sebagai chord dasar dari simfoni belajar seorang guru. Prinsip-prinsip tersebut adalah :
a. Segalanya berbicara
Segalanya dari lingkungan kelas hingga bahasa tubuh guru, dan kertas yang guru bagikan hingga rancangan pelajaran guru, semuanya mengirim pesan tentang belajar.
b. Segalanya bertujuan
Semua yang terjadi dalam pengubahan guru mempunyai tujuan.
c. Pengalaman sebelum pemberian nama
Otak kita berkembang pesat dengan adanya rangsangan kompleks, yang akan menggerakkan rasa ingin tahu. Oleh karena itu, proses belajar paling baik terjadi ketika siswa telah mengalami informasi sebelum mereka memperoleh nama-nama untuk apa yang mereka pelajari.
d. Akui setiap usaha
Belajar mengandung resiko. Belajar berarti melangkah keluar dari kenyamanan. Pada saat siswa mengambil langkah itu. Mereka patut mendapat pengakuan atas kecakapan dan kepercayaan diri mereka.
e. Jika layak dipelajari, maka layak pula dirayakan.
Perayaan adalah sarapan pelajar sang juara. Perayaan hádala umpan balik mengenai kemajuan dan meningkatkan assosiasi emosi positif dengan belajar.
Konsep kunci dalam Quantum Learning dari berbagai teori dan strategi belajar yang digunakan antara lain:
a. Teori otak kanan kiri
b. Teori otak triune (3 in 1)
c. Pilihan modalitas (visual, auditorial dan kinestetik)
d. Teori kecerdasan ganda
e. Pendidikan holistic (menyeluruh)
f. Belajar berdasarkan pengalaman
g. Belajar dengan simbol (metaphoric learning)
h. Simulasi / permainan
i.Peta Pikiran (mind mapping)
Unsur-unsur Quantum Learning Model
Quantum Learning Model hampir sama dengan sebuah simfoni. Unsur-unsur dalam Quantum Learning Model terdapat dalam 2 kategori, yaitu konteks dan isi. Guru sebagai konduktor dari siswa-siswa yang sedang belajar, harus mengubah banyak bagian. Bagian konteks meliputi pengubahan suasana, landasan, lingkungan da rancangan belajar. Sedangkan bagian isi meliputi pengubahan penyajian informasi/materi, fasilitas, ketrampilan belajar untuk b elajar, dan ketrampilan hidup.
Prinsip suggestolog
Hampir mirip dengan proses accelerated learning, pemercepatan belajar: yakni, proses belajar yang memungkinkan siswa belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal, dan dibarengi kegembiraan. Suasana belajar yang efektif diciptakan melalui campuran antara lain unsur-unsur hiburan, permainan, cara berpikir positif, dan emosi yang sehat.
Quantum learning mencakup aspek-aspek penting dalam program neurolinguistik (NLP), yaitu suatu penelitian tentang bagaimana otak mengatur informasi. Program ini meneliti hubungan antara bahasa dan perilaku dan dapat digunakan untuk menciptakan jalinan pengertian siswa dan guru. Para pendidik dengan pengetahuan NLP mengetahui bagaimana menggunakan bahasa yang positif untuk meningkatkan tindakan-tindakan posistif – faktor penting untuk merangsang fungsi otak yang paling efektif. Semua ini dapat pula menunjukkan dan menciptakan gaya belajar terbaik dari setiap orang.
Dalam pembelajaran Quantum Learning ada 5 ciri spesifik yang berguna untuk meningkatkan otak untuk memahami suatu informasi yang diberikan. Ciri-ciri tersebut adalah:
* Learning To Know yang artinya belajar untuk mengetahui
* Learning To Do yang artinya belajar untuk melakukan
* Learning To Be yang artinya belajar untuk menjadi dirinya sendiri
* Learning To Live Together yang artinya belajar untuk kebersamaan

  1. Kelebihan Dan Kelemahan` Quantum Learning
1.      Kelebihan.
Pembelajaran kuantum menekankan perkembangan akademis dan keterampilan. Dari sebuah pengalaman yang diselenggarakan oleh Learning Forum di Supercamp yang mempraktekkan pembelajaran kuantum ternyata murid-muridnya mendapat nilai yang lebih baik, lebih banyak berpartisipasi dan merasa lebih bangga pada diri mereka sendiri. Dalam pendekatan pembelajaran kuantum, pendidik mampu menyatu dan membaur pada dunia peserta didik sehingga pendidik bisa lebih memahami peserta didik dan ini menjadi modal utama yang luar biasa untuk mewujudkan metode yang lebih efektif yaitu metode belajar-mengajar yang lebih menyenangkan.
Model pembelajarannyapun lebih santai dan menyenangkan karena ketika belajar sambil diiringi musik. Hal ini untuk mendukung proses belajar karena musik akan bisa meningkatkan kinerja otak sehingga diasumsikan bahwa belajar dengan diiringi musik akan mewujudkan suasana yang lebih menenangkan dan materi yang disampaikan lebih mudah diterima.
Penyajian materi pelajarannya yang secara alami merupakan proses belajar yang paling baik yaitu terjadi ketika siswa telah mengalami informasi sebelum mereka memperoleh nama untuk apa yang mereka pelajari sehingga siswa berada pada zona nyaman untuk kemudian sedikit demi sedikit keluar dari zona nyaman untuk melakukan penjelajahan yang sesungguhnya yaitu kegiatan belajar itu sendiri.
Pada pembelajaran kuantum, objek yang menjadi tujuan utama adalah siswa. Maka dari itu guru mengupayakan berbagai interaksi dan menyingkirkan hambatan belajar dengan cara yang tepat agar siswa dapat belajar secara mudah dan alami. Semua itu adalah bertujuan untuk melejitkan prestasi siswa.
Quantum learning sebagai salah satu metode belajar dapat memadukan antara berbagai sugesti positif dan interaksinya dengan lingkungan yang dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar seseorang. Lingkungan belajar yang menyenangkan dapat menimbulkan motivasi pada diri seseorang sehingga secara langsung dapat mempengaruhi proses belajar metode Quantum Learning dengan teknik peta pikiran (mind mapping) memiliki manfaat yang sangat baik untuk meningkatkan potensi akademis (prestasi belajar) maupun potensi kreatif yang terdapat dalam diri siswa.[7]

2.      Kelemahan
a.       Memerlukan dan menuntut keahlian dan keterampilan guru lebih khusus.
b.      Memerlukan proses perancangan dan persiapan pembelajaran yang cukup matang dan terencana dengan cara yang lebih baik.
c.       Adanya keterbatasan sumber belajar, alat belajar, dan menuntut situasi dan kondisi serta waktu yang lebih banyak.

E. Paradigma Belajar Model Quantum Learning
Dalam belajar model Quantum Learning agar dapat berjalan dengan benar ini paradigma yang harus dianut oleh siswa dan guru adalah sebagai berikut :
a. Setiap orang adalah guru dan sekaligus murid sehingga bisa saling berfungsi sebagai fasilitator
b. Bagi kebanyakan orang belajar akan sangat efektif jika dilakukan dalam suasana yang menyenangkan, lingkungan dan suasana yang tidak terlalu formal, penataan duduk setengah melingkar tanpa meja, penataan sinar atau cahaya yang baik sehingga peserta merasa santai dan relak.
c.  Setiap orang mempunyai gaya belajar, bekerja dan berpikir yang unik dan berbeda yang merupakan pembawaan alamiah sehingga kita tidak perlu merubahnya dengan demikian perasaan nyaman dan positif akan terbentuk dalam menerima informasi atau materi yang diberikan oleh fasilitator.
d.  Modul pelajaran tidak harus rumit tapi harus dapat disajikan dalam bentuk sederhana dan lebih banyak kesuatu kasus nyata atau aplikasi langsung.
e.  Dalam menyerap dan mengolah informasi otak menguraikan dalam bentuk simbol atau asosiatip sehingga materi akan lebih mudah dicerna bila lebih banyak disajikan dalarn bentuk gambar, diagram, flow atau simbol.
f.  Kunci menuju kesuksesan model quantum learning adalah latar belakang (background) musik klasik atau instrumental yang telah terbukti memberikan pengaruh positip dalarn proses pembelajaran. Musik klasik dari Mozart, bach, Bethoven, dan Vivaldi dapat meningkatkan kemampuan mengingat, mengurangi stress, meredakan ketegangan, meingkatkan energi dan membesarkan daya ingat. Musik menjadikan orang lebih cerdas (Jeannete Vos)
g..  Penggunaan Warna dalam model quantum learning dapat meningkatkan daya tangkap dan ingat sebanyak 78%
h.  Metoda peran dimana peserta berperan lebih aktif dalam membahas materi sesuai dengan pengalamannya melalui pendekatan terbalik yaitu membuat belajar serupa bekerja (pembelajaran orang dewasa)
i.  Sistim penilaian yang disarankan untuk abad 21 dalam pembelajaran adalah 50% penilaian diri sendiri, 30% penilaian teman, 20% penilaian trainer atau atasan (Jeannette Vos)
j.  Umpan balik yang positif akan mampu memotivasi anak untuk berprestasi namun umpan balik negative akan membuat anak menjadi frustasi. Ini berdasar hasil riset pakar masalah kepercayaan diri, Jack Carfiled pada tahun 1982. 100 anak ditunjuk oleh periset selam sehari. Hasilnya, bahwa setiap anak rata-rata menerima 460 komentar negative dan hanya 75 komentar positif.



  1. Penutup
Menurut saya dari sekian banyak pendekatan yang ada beserta model-modelnya,tidak ada satupun yang paling baik ataupun paling ideal untuk digunakan. Kembali lagi pada situasi dan kondisi bagaimana siswa tsb, keadaan sekolahnya dan aspek-aspek lain yang mempngaruhinya.Tidak bisa kita memvonis langsung mana model dan pendekatan yang paling baik sebelum memperhatikan aspek2 di atas. Terlebih lagi dalam kenyataan membutuhkan banyak kombinasi-kombinasi dari model atau pendekatan yang akan digunakan. Satu sama lain saling mempengaruhi tentunya.
Quantum Learning merupakan metoda pengajaran maupun pelatihan yang menggunakan metodologi berdasarkan teori‑teori pendidikan seperti Accelerated Learning (Lozanov), Multiple Intelligences (Gardner), Neuro Linguistic Programming atau NLP (Grinder & Bandler), Experential Learning (Hahn), Socratic Inquiry, Cooperative Learning (Johnson & Johnson) dan Elements of Effective Instruction (Hunter) menjadi sebuah paket multisensori, multi kecerdasan dan kompatibel dengan cara bekerja otak yang mampu meningkatkan kemampuan dan kecepatan belajar. Percepatan belajar (accelerated learning) dikembangkan untuk menyingkirkan hambatan yang menghalangi proses belajar alamiah dengan secara sengaja menggunakan musik, mewarnai lingkungan sekeliling, menyusun bahan pengajaran yang sesuai, cara efektif penyajian, modalitas belajar serta keterlibatan aktif dari peserta.
Untuk meningkatkan percepatan belajar dan efisiensi waktu dan melejitkan prestasi belajar tidak ada salahnya di lembaga-lembaga pendidikan perlu mengembangkan metode belajar dengan konsep Quantum Learning.





[1] Ahmad dan Joko, , Model Belajar Mengajar, (Bandung: Pustaka Setia,.1997), hlm.27.

[2] Bobbi Porter. De dan Mike Hernacki. Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan,.(Bandung: Kaifa, 2003), hlm.16.
[3] Gordon.. Dryden.  Revolusi Cara Belajar : The Learning Revolution Bagian I, (Bandung. Kaifa, 2003), hlm.26.
[4] Iwan. Sugiarto. Mengoptimalkan Daya Kerja Otak Dengan Berfikir Holistik dan Kreatif. (Jakarta Gramedia Pustaka Utama: 2004), hlm 30.

[5] Slameto, Belajar Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 24.
[6] Tony Buzan. dan Barry.. Memahami Peta Pikiran : The Mind Map Book. (Batam: Interaksa: 2004), hlm 56.

[7] Tony Buzan, Mind Map: Untuk Meningkatkan Kreativitas, .(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm.35.